Welcome to my blog, si Ucil,,,

Tuesday, March 8, 2011

FIQIH MUAMALAH

FIQIH MUAMALAH DAN RUANG LINGKUPNYA

A. Pengertian Fiqih Muamalah

Fiqih Muamalah terdiri atas dua kata, yaitu fiqih dan muamalah. Berikut penjelasan dari Fiqih, Muamalah, dan Fiqih Muamalah.[1]

1. Fiqih

Menurut etimologi, fiqih adalah الفهم)) [paham], seperti pernyataan : فقهت الدرس (saya paham pelajaran itu). Arti ini sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari berikut:

من يرد ا لله به خيرا يفقهه في الد ين

Artinya: “Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisiNya, niscaya diberikan kepadaNya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.”

Menurut terminologi, fiqih pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah, akhlak, maupun ibadah sama dengan arti syari’ah islamiyah. Namun, pada perkembangan selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian dari syariah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.

Menurut Imam Haramain, fiqih merupakan pengetahuan hukum syara’ dengan jalan ijtihad. Demikian pula menurut Al-Amidi, pengetahuan hukum dalam fiqih adalah melalui kajian dari penalaran (nadzar dan istidhah). Pengetahuan yang tidak melalui jalur ijtihad(kajian), tetapi bersifat dharuri, seperti shalat lima waktu wajib, zina haram, dan masalah-masalah qath’i lainnya tidak bermasuk fiqih.

Hal tersebut menunjukkan bahwa fiqih bersifat ijtihadi dan zhanni. Pada perkembangan selanjutnya, istilah fiqih sering dirangkaikan dengan kata al-Islami sehingga terangkai al-Fiqih Al-Islami, yang sering diterjemahkan dengan hukum Islam yang memiliki cakupan sangat luas. Pada perkembanagn selanjutnya, ulama fiqih membagi menjadi beberapa bidang, diantaranya Fiqih Muamalah.[2]

2. Muamalah

Menurut etimologi, kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata’amala yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengenal.[3]

Muamalah ialah segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya. Aturan agama yang mengatur hubungan antar sesama manusia, dapat kita temukan dalam hukum Islam tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat, hibah perdagangan, perburuan, perkoperasian dll. Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya dapat kita temukan antara lain dalam hukum Islam tentang makanan, minuman, mata pencaharian, dan cara memperoleh rizki dengan cara yang dihalalkan atau yang diharamkan.

Aturan agama yang mengatur hubunagn antara manusia dengan alam sekitarnya dapat kita jumpai seperti larangan mengganggu, merusak dan membinasakan hewan, tumbuhan atau yang lainnya tanpa adanya suatu alasan yang dibenarkan oleh agama, perintah kepada manusia agar mengadakan penelitian dan pemikiran tentang keadaan alam semesta.

Dari uraian diatas telah kita ketahui bahwa muamalah mempunyai ruang lingkup yang luas, yang meliputi segala aspek, baik dari bidang agama, politik, ekonomi, pendidikan serta sosial-budaya.[4] Firman Allah dalam surat an Nahl ayat 89:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ (89)...

Artinya: “ Kami turunkan kepadamu al Qur’an untuk menerangkan segala sesuatu, untuk petunjuk dan rahmat serta berita gembira bagi orang-orang islam.”(QS.An-Nahl: 89)

3. Fiqih Muamalah

Pengertian fiqih muamalah menurut terminologi dapat dibagi menjadi dua:

a. Fiqih muamalah dalam arti luas

- Menurut Ad-Dimyati, fiqih muamalah adalah aktifitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.[5]

- Menurut pendapat Muhammad Yusuf Musa yaitu ketentuan-ketentuan hukum mengenai kegiatan perekonomian, amanah dalam bentuk titipan dan pinjaman, ikatan kekeluargaan, proses penyelesaian perkara lewat pengadilan, bahkan soal distribusi harta waris.

- Menurut pendapat Mahmud Syaltout yaitu ketentuan-ketentuan hukum mengenai hubungan perekonomian yang dilakukan anggota masyarakat, dan bertendensikan kepentingan material yang saling menguntungkan satu sama lain. [6]

Berdasarkan pemikiran diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa fiqh muamalah adalah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum tentang usaha-usaha memperoleh dan mengembangkan harta, jual beli, hutang piutang dan jasa penitiapan diantara anggota-anggota masyarakat sesuai keperluan mereka, yang dapat dipahami dan dalil-dalil syara’ yang terinci.[7]

Aturan-aturan Allah ini ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemayarakatan. Manusia kapanpun dan dimanapun harus senantiasa mengikuti aturan yang telah ditetapkan Allah sekalipun dalam perkara yang bersifat duniawi sebab segala aktifitas manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Dalam Islam tidak ada pemishan antara amal perbuatan dan amal akhirat, sebab sekecil apapun aktifitas manusia di dunia harus didasarkan pada ketetapan Allah SWT agar kelak selamat di akhirat.[8]

b. Fiqih muamalah dalam arti sempit:

· Menurut Hudhari Beik, muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.

· Menurut Idris Ahmad adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.

Jadi pengertian Fiqih muamalah dalam arti sempit lebih menekankan pada keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan mal (harta benda).[9]

Ciri utama fiqih muamalah adalah adanya kepentingan keuntungan material dalam proses akad dan kesepakatannya. Berbeda dengan fiqh ibadah yang dilakukan semata-mata dalam rangka mewujudkan ketaatan kepada Allah tanpa ada tendensi kepentingan material.

Tujuannya adalah dalam rangka menjaga kepentingan orang-orang mukallaf terhadap harta mereka, sehingga tidak dirugikan oleh tindakan orang lain dan dapat memanfaatkan harta miliknya itu untuk memenuhi kepentingan hidup mereka.[10]

B. Pembagian Fiqih Muamalah

Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima bagian:

1. Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan)

2. Munakahat (Hukum Perkawinan)

3. Muhasanat (Hukum Acara)

4. Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)

5. Tirkah (Hukum Peninggalan)

Dari pembagian diatas, yang merupakan disiplin ilmu tersendiri adalah munakahat dan tirkah. Sedangkan menurut Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah membagi Fiqh Muamalah menjadi dua bagian:

1. Al-Muamalah Al-Madiyah

Al-Muamalah Al-Madiyah adalah muamalah yang mengakaji segi objeknya, yakni benda. Sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Muamalah Al-Madiyah bersifat kebendaan, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjual belikan, atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dll. Semua aktivitas yang berkaitan dengan benda, seperti al- bai’ (jual beli) tidak hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan semata, tetapi jauh lebih dari itu, yakni untuk memperoloh ridha Allah SWT. Jadi kita harus menuruti tata cara jual beli yang telah ditentukan oleh syara’.

2. Al-Muamalah Al-Adabiyah

Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah muamalah ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang sumbernya dari pancaindra manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasut, iri, dendam, dll. Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang ditinjau dari segi subjeknya (pelakunya) yang berkisar pada keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul, dusta, dll.

Pada prakteknya, Al-Muamalah Al-Madiyah dan Al-Muamalah Al-Adabiyah tidak dapat dipisahkan.[11]

C. Ruang Lingkup Fiqih Muamalah

Ruang lingkup fiqih muamalah terbagi menjadi dua:

1. Al-Muamalah Al-Adabiyah. Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.

2. Al-Muamalah Al-Madiyah

a. Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah)

b. Gadai (rahn)

c. Jaminan/ tanggungan (kafalah)

d. Pemindahan utang (hiwalah)

e. Jatuh bangkit (tafjis)

f. Batas bertindak (al-hajru)

g. Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)

h. Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)

i. Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)

j. Upah (ujral al-amah)

k. Gugatan (asy-syuf’ah)

l. Sayembara (al-ji’alah)

m. Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah)

n. Pemberian (al-hibbah)

o. Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu)

p. beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnnya.[12]

q. Pembagian hasil pertanian (musaqah)

r. Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah)

s. pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf)

t. Pihak penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh)

u. Pinjaman barang (‘ariyah)

v. Sewa menyewa (al-ijarah)

w. Penitipan barang (wadi’ah)

Peluang ijtihad dalam aspek tersebut diatas harus tetap terbuka, agar hukum Islam senantiasa dapat memberi kejelasan normatif kepada masyarakat sebagai pelaku-pelaku ekonomi.[13]

D. Hubungan Hukum Islam dengan Hukum Romawi

Ada 3 perbedaan pendapat tentang hukum Islam dengan hukum Romawi :

1. Golongan orientalis, Von Kremaer, Ignaz Golziher dan Amon, berpendapat bahwa hukum Islam benar-benar dipengaruhi oleh hukum Romawi. Amon menyatakan bahwa syari’at Islam adalah hukum Romawi Timur yang sudah mengalami perubahan-perubahan dalam penyesuaiannya dengan masalah-masalah politik negara-negara Arab yang menjadi jajahannya.

2. Golongan sarjana Muslim, Faiz al-Kuhri, Arif al-Naqdi, dan Syaikh Muhammad Sulaiman, berpendapat bahwa hukum Islam sama sekali tidak dipengaruhi oleh hukum Romawi, sebab hukum Islam dipraktikkan/diundangkan lebih dahulu daripada hukum Romawi, yakni hukum Romawi timbul setelah sarjana Barat mempelajari hukum Islam.

3. Golongan moderat, Sayyid Muhammad Hafidz Shabri, Ahmad Amin, dan Syafiq Syahanah, berpendapat bahwa kedua pendapat diatas memiliki nilai kebenaran dan juga memiliki nilai kesalahan.[14]

Menurut Abdul Madjid hukum Islam dan hukum Romawi terdapat perbedaan-perbedaan yang menonjol, antara lain :

Kedudukan wanita Romawi di bawah perintah kekuasaan kaum laki-laki selama hidupnya, wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk melakukan transaksi-transaksi harta kekayaan tanpa izin suami, sedangkan dalam hukum Islam tidak seketat itu walaupun harus diakui ada batasan-batasannya.

Pemindahan hutang (hiwalah) dalam hukum Romawi dilarang, sedangkan dalam hukum Islam dibolehkan menurut semua madzhab.[15]


DAFTRAR PUSTAKA

Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001

Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993

Suhendi, Hendi, Fiqih muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010

Zuhdi, Masjfuk, Studi Islam jilid III: Muamalah, Jakarta: Rajawali, 1988



[1] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 13

[2] Ibid, 13-14

[3] Ibid., 14

[4] Masjfuk Zuhdi, Studi Islam jilid III: Muamalah, (Jakarta : Rajawali, 1988), 2-3

[5] Rachmad, Fiqih, 15

[6] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), 70-71

[7] Ibid.

[8] Rachmad, Fiqih,15

[9] Ibid., 16

[10] Dede, Hukum Islam, 71

[11] Rachmad, Fiqih, 17

[12] Ibid., 18

[13] Dede, Hukum Islam, 75

[14] Hendi Suhendi, Fiqih muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 5-6

[15] Ibid, 7

No comments:

Post a Comment